Happy Cat Kaoani

Selasa, 10 Maret 2015

Cita-cita

Waktu kecil, kita semua pasti punya cita-cita. Dokter, polisi, tentara, insinyur dan segala profesi keren yang disebut cita-cita kita tuliskan dalam kertas diari, kemudian ditempel dalam kamar atau tersimpan dalam laci. Seiring berlalunya waktu, perlahan cita-cita yang kita impikan terlupakan---karena kesibukan yang memang jauh dari yang kita cita-citakan sebelumnya.

Saya sendiri kurang paham mengapa cita-cita itu yang sangat populer di kalangan anak-anak. Mungkin mereka merasa keren melihat jas putih dan stetoskop dilingkarkan di leher dan memeriksa pasien dengan teliti (bagi dokter)---atau mungkin mereka ingin menyuntik orang yang lewat (emang Susan? ), atau mereka takjub bagaimana seorang polisi dengan seragamnya mengatur lalu lintas dan membantu orang-orang yang menyeberang jalan, atau seorang insinyur seperti Pak Habibie yang mampu membuat pesawat terbang.

Saat kecil, cita-cita yang saya impikan adalah menjadi seorang dokter---cita-cita standar yang diimpikan semua anak hingga saat ini. Pelan-pelan saya kemudian menyadari, bahwa untuk menjadi seorang dokter, yang diperlukan adalah kecerdasan otak tingkat tinggi serta biaya yang fantastis. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk ‘membunuh’ cita-cita itu, mengganti dengan yang menurut saya lebih memungkinkan untuk dijangkau dari segi biaya dan otak.

***
Pertama kali saya mahir membaca menjelang masuk SD. Yang mengajari saya adalah ibu. Pernah suatu ketika---saat saya belum  mahir membaca---saya membaca “ibu minum susu” karena saya hanya melihat gambar seseorang minum susu ditambah dengan huruf (i), huruf (b), dan huruf (u); sehingga saya berkesimpulan bahwa ibu sedang minum susu hanya melihat dari gambar.

Ketika saya telah mahir membaca, saya pun jadi keranjingan untuk membaca apa saja. Kadang-kadang saya membaca spanduk-spanduk yang bertebaran di sepanjang jalan; membaca koran bekas dari bungkusan cabai, tomat, atau putu la’bu (makanan khas kota Makassar). Saat saya diajak ke kantor ibu, saya pasti semangat. Kantor-kantor---utamanya kantor pemerintahan---biasanya berlangganan koran. Sudah pasti saya akan merasa puas untuk membaca apa saja info yang update. Jika ada teman ibu yang sedang membaca, saya pasti akan jongkok untuk membaca info yang ada di halaman depan (kasian amat yak!). Saat sepi, biasanya saya cepat-cepat memasukkan koran tersebut ke dalam tas ransel---setelah memeriksa halamannya yang sudah lengkap.

Saat di rumah, saya akan meluangkan waktu untuk membaca koran tersebut. Semua bagian dari koran tersebut akan saya baca hingga tuntas. Jika ada kata-kata yang sulit, saya akan mencari maknanya di kamus. Di masa itu belum ada internet, dan hanya segelintir orang yang memiliki komputer.

Kadang-kadang, saya juga sering membaca buku pegangan milik abang saya---yang waktu itu kelas III (tiga) SD. Buku yang sering saya baca pada saat itu adalah buku PPKn dan Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga abang saya lulus dari SD (kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama) dan saya sendiri duduk di kelas IV (empat). Waktu itu, bacaan wajib saya pun bertambah satu, yakni Ilmu Pengetahuan Sosial. Waktu itu, saya sama sekali tidak sadar bahwa kelak hal yang seperti ini berdampak pada kehidupan saya di kemudian hari.

***
Kebiasaan menulis sebenarnya telah tumbuh sejak saya duduk di kelas V (lima). Saya waktu itu menulis di buku harian, dan itu saya lakukan hampir tiap hari. Saya menulis apa saja; tentang kejadian hari itu, apa yang saya rasakan, dan segala hal yang ingin saya capai saat saya dewasa nanti. Pribadi saya memang tertutup, sehingga saya tidak memiliki banyak teman.

Di masa itu, saya juga menyukai serial Detektif Conan. Di hari Minggu, saya pasti akan duduk manis di depan televisi---menunggu acara itu diputar di Indosiar. Begitu saya tahu bahwa versi komiknya ada, saya pun akhirnya mencari di toko buku. Kebiasaan berburu komik Conan ini masih berlanjut hingga saat ini---meski sekarang telah tersedia situs online untuk membaca komik seri terbaru. Dan akhirnya, saya pun memutuskan untuk mengejar cita-cita menjadi seorang penulis atau detektif (atau bisa jadi keduanya: penulis cerita detektif).

***
Satu hal yang patut saya syukuri bahwa kedua orang tua saya---utamanya abah---tidak pernah “menitipkan” obsesi mereka pada kami. Apapun yang ingin kami lakukan, mereka sangat mendukung, karena mereka berprinsip bahwa kami-lah yang akan menjalani, sehingga kami dibebaskan untuk memilih menjadi apa di kemudian hari.

Seringkali, kita mendengar cerita tentang orang tua yang memaksa anaknya untuk memasuki jurusan tertentu, agar kelak mereka bisa menjadi “orang”. Padahal, tanpa mereka sadari hal tersebut membuat anak menjadi tertekan, dan akhirnya membuat mereka layu sebelum berkembang. Saya bukannya menggurui, tapi alangkah baiknya selama kegiatannya positif, sebagai orang tua seharusnya mereka mendukung. Jika anak kita sukses, bukankah nama yang akan pertama kali mereka sebut adalah nama orang tua?

Terakhir, pesan saya untuk teman-teman yang sedang mengejar atau akan menempuh cita-cita; jangan pernah menyerah, sebab jalan akan selalu terbuka bagi mereka yang terus berjuang meraih mimpi.

Keep spirit!!


Balikpapan, 11032015 at 12.48 p.m.

Kode Smiley Untuk Komentar


:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar