Happy Cat Kaoani

Selasa, 29 Desember 2015

McFARLAND, USA: Mimpi yang Menjadi Nyata

Poster film McFarland, USA
Setiap orang pasti memiliki mimpi, tetapi tidak semua orang yang berhasil mewujudkannya. Pengorbanan dan tekad yang kuat adalah kunci untuk menuju kesuksesan. Semua itu 'dititipkan' oleh Tuhan untuk orang-orang pilihan...
                                                          
McFarland adalah sebuah kota kecil yang terletak di California. Kota yang mulanya 'normal' mendadak 'bermimpi' karena kedatangan seorang pria.

Jim White (Kevin Costner), istrinya Cheryl White (Maria Bello), serta kedua putrinya Julie White (Morgan Saylor) dan Jamie White (Elsie Fisher) datang ke kota ini setelah Jim dipecat sebagai pelatih football karena tidak sengaja melukai salah seorang anak asuhnya. 

Saat mereka tiba, segalanya terasa sunyi dan asing. Tidak mudah untuk berkomunikasi dan mengakrabkan diri dengan penduduk sekitar, karena sebagian besar penduduk McFarland adalah ras Hispanik atau Latino. Tapi Jim berusaha meyakinkan keluarganya bahwa kondisi ini hanya sementara. Setelah keuangan mereka membaik, mereka akan pindah ke 'kota yang lebih baik'.

Jim kemudian diterima sebagai guru olahraga (physical education teacher atau PE teacher) sekaligus asisten pelatih futbol di SMA McFarland. Selama mengajar PE, Jim sering memperhatikan beberapa siswa; Victor Puentes (Sergio Avelar) dan Johnny Sameniego (Hector Duran)---keduanya dikeluarkan dari tim futbol sekolah---yang berlari lebih cepat dibanding teman-temannya yang lain.

Jim kemudian menemui kepala sekolah, Camillo (Valente Rodriguez), agar mengijinkannya membentuk tim untuk mengikuti lomba lari lintas alam untuk memperebutkan gelar juara se-California. Setelah mendapat persetujuan, melalui bantuan Johnny, Jim kemudian merekrut enam orang; dimulai dari Victor; Diaz bersaudara (Danny Diaz [Ramiro Rodriguez], David Diaz [Rafael Martinez], Damacio Diaz [Michael Aguero]); Jose Cardenas (Johnny Ortiz); dan terakhir Thomas Valles (Carlos Pratts).

Berbagai kendala dihadapi Jim. Minimnya fasilitas, konflik dengan orangtua Diaz bersaudara, masalah keluarga Valles, waktu keluarga yang berkurang karena latihan, rasa minder anak asuhnya terhadap tim lain; adalah beberapa hal yang harus ia atasi.

Pada akhirnya, tekad dan keberanian mereka untuk mewujudkan mimpi demi sekolah dan McFarland membuat mereka semakin dekat untuk meraih kesuksesan...
***
Film olahraga ini sangat menginspirasi dan cocok ditonton untuk semua umur. Alur cerita yang mudah dimengerti dan tidak bertele-tele membuat penonton ikut merasakan semangat mereka untuk mengubah nasib. Belum lagi konflik yang dialami pemain membuat emosi kita teraduk-aduk.

Sayang, ada beberapa tokoh yang kehidupan keluarganya 'kurang digali' lebih dalam. Penonton hanya sering melihat kehidupan keluarga Thomas dan Diaz bersaudara. Ditambah dengan kurangnya dokumentasi berupa foto atau lainnya untuk menggambarkan kehidupan tokoh asli di masa mudanya (biasanya diletakkan di awal atau akhir film).


Tapi teman-teman jangan kecewa. Saya punya dua foto yang saya dapat dari internet. Full cast bisa di-klik di siniBaca juga kisah tragis yang terjadi pada tim putri McFarland tahun 1987 (artikel dalam bahasa Inggris, jika ada waktu akan saya terjemahkan).


Dari kiri: Thomas Valles, Victor Puentes, Damacio Diaz, Johnny Samaniego, Jose Cardenas, Danny Diaz, dan pelatih Jim White. Luis Partida tidak ada dalam gambar.  


Selasa, 22 Desember 2015

Ibu (Lanjutan Curhat 'Ayah' Sebelumnya)

Tidak bisa dipungkiri, sosok ibu memang memiliki keistimewaan tersendiri. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam sendiri juga menegaskan bahwa ibu adalah orang yang harus diutamakan melebihi ayah, karena surga berada di bawah telapak kaki beliau.

Sosok ibu sendiri diidentikkan dengan kelembutan, kasih sayang, berusaha mengayomi dan melindungi anaknya. Tidak pernah sekali pun kulihat ada tulisan yang menjelek-jelekkan ibu, karena kemuliaan sifatnya.

Lalu bagaimana dengan ibuku?
***
Aku lahir jauh sebelum yang namanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia berdiri. Sejak kecil, aku di-didik dalam lingkungan 'kekerasan adalah hal yang lumrah', sehingga tak heran aku kadang melihat kedua orangtua bertengkar hingga berakhir dengan saling melempar panci atau memecahkan piring.

Ibu juga kadang memukulku bila 'bandel'. Cubitan yang membiru, ditetesi minyak panas di lengan, ditelanjangi di depan pekarangan rumah (disaksikan oleh tetanggaku sendiri), kepala yang benjol karena dihantam ke lantai, dijejalkan cabe rawit ke mulut; adalah beberapa 'siksaan' yang kuterima di masa kecil (hingga hari ini, aku mencoba mengingat kesalahan apa yang telah kulakukan hingga ibu begitu murka. Namun sekeras apapun aku mencoba, yang terkenang hanya perbuatan itu)

Tidak hanya fisik, ibu juga sering menekanku secara mental. Sering ibu mengatakan bahwa aku adalah anak pembawa sial, sehingga alam bawah sadarku tanpa sadar menerima sugesti itu.

***
Memasuki masa SMP dan SMA aku menjadi 'liar'. Tanpa kusadari, aku kemudian tumbuh menjadi gadis yang tertutup dan pemarah. Kenangan masa kecil yang terus menghantui mungkin salah satu penyebabnya.

Seringkali juga hubunganku dengan ibu 'panas-dingin'. Ibu memang kadang memukulku bila aku 'melanggar aturan'
, tapi pukulan itu tak pernah lagi kurasakan sebagai rasa sakit, melainkan hanya kuanggap sebagai 'gertak-sambal.

Syukurnya
, meski hubunganku dengan ibu buruk, aku tak pernah 'kehilangan pegangan'. Bagiku, menerjunkan diri ke hal-hal negatif hanya akan merusak diri sendiri. Aku hanya ingin tahu mengapa ibu memperlakukanku begitu buruk semasa kecil.
***
Saat kuliah, aku sadar bahwa aku butuh pertolongan. Akhirnya kuputuskan untuk mencurahkan segalanya melalui tulisan. Memang sepele, tapi dampaknya mulai terasa. Perasaanku jauh lebih 'ringan'. Rasanya seperti mengangkat beban yang sangat berat, dan tubuh kembali ringan.


Pelan-pelan aku juga mulai menata hubungan yang baik dengan ibu. Tidak mudah memang, karena saat melihatnya masa-masa buruk itu kembali terulang. Ya, ironis memang bahwa sumber ketakutanku adalah ibuku sendiri.

Masa kecil memang tak akan bisa diulang, dan aku juga tidak ingin 'menuntut'. Aku hanya ingin bertanya, layakkah masa kecilku yang 'putih' harus diisi dengan kenangan 'hitam'?


Baca cerita sebelumnya di sini.



*)seperti dituturkan Ms. X di kota X via email

Minggu, 20 Desember 2015

I CAN SEE YOUR VOICE: Karena Buta Nada Harus Tampil!

Berapa banyak acara ajang pencarian bakat dalam bidang tarik suara yang disiarkan di teve? Tak terhitung! Ada The Voice, Indonesian Idol, X Factor, Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Kontes Dangdut Indonesia (KDI), D'Academy, dan masih banyak lagi.

Bosan? Iyalah! Ajang pencarian bakat pastinya hanya akan menampilkan orang-orang yang berbakat dan bertalenta. Yang suaranya pas-pasan atau nggak keren, hanya bisa memimpikannya dalam tidur. Kadang juga, ada penyanyi yang suaranya bagus, tapi nggak lolos karena bukan kriteria juri, perolehan dukungan yang kurang, dan lain-lain. Kecewa? Pastilah! Udah capek-capek kirim SMS, ketik hashtag banyak-banyak, toh juga tetap nggak lolos.

Tapi di Korea, ada acara musik misterius yang akan membuat kita terkejut di awal hingga akhir acara!
***
Poster acara musik 'I Can See Your Voice 2'
Namanya I Can See Your Voice. Dibawakan oleh Leeteuk Super Junior, Kim Bum-soo, dan komedian Yoo Se-yoon; acara ini sudah tayang selama dua season di Channel M. Acara ini cukup unik dan mendapat tanggapan yang cukup bagus.

Di setiap episode, dihadirkan bintang tamu yang cukup berpengalaman dalam perindustrian musik. Tugasnya 'sederhana', yakni bintang tamu harus menebak peserta yang buta nada di antara tujuh orang peserta dibantu beberapa panelis; dan dibagi menjadi tiga sesi.

Sesi pertama yakni tebak gaya. Peserta diminta berpose saat menyanyi sementara para MC akan memperkenalkan nama dan latar belakangnya secara singkat (sebelumnya di season pertama, babak ini mengungkap suara mereka saat menyanyi---dalam bentuk rekaman video---selama 0,5 detik). Setelah mereka semua diperkenalkan, bintang tamu dibantu saran dari panelis menebak dua orang yang buta nada. Mereka yang terpilih harus maju ke Panggung Kebenaran untuk membuktikan apa mereka buta nada atau penyanyi andal dan secara otomatis akan gugur.

Sesi selanjutnya adalah adu lipsync. Lima orang yang bertahan akan menunjukkan kemampuan lipsync sebuah lagu. Setelah semuanya selesai, bintang tamu dan panelis kembali harus menebak dua orang, dan yang terpilih harus menunjukkan di panggung untuk membuktikan anggapan panelis, bintang tamu, dan penonton. Di babak ini disediakan 'bantuan' bernama Peluang Bum-soo. Bintang tamu dapat menggunakan ini untuk menebak penyanyi yang dianggap 'masih misterius'. Jadi, MC Kim Bum-soo diberi kesempatan mendengar suara salah satu peserta (yang dipilih bintang tamu) saat menyanyi melalui earphone. Bintang tamu harus menebak apa peserta tersebut buta nada atau bukan melalui ekspresi Bum-soo saat mendengarkan suara peserta.

Sesi ketiga adalah tebak kebenaran. Tiga orang peserta yang tersisa akan menunjukkan bukti bahwa mereka penyanyi andal melalui foto. Bintang tamu akan diberi kesempatan berdiskusi dengan panelis soal foto yang ditunjukkan selama 100 detik. Setelah itu, bintang tamu akan memilih seorang di antara mereka.

Yang terakhir adalah bicara melalui mata. Dua orang ini akan menunjukkan kesungguhan mereka melalui tatapan mata kepada bintang tamu. Setelah kontak mata yang singkat, bintang tamu harus memilih siapa yang akan diajak berduet sementara yang lainnya akan naik ke panggung untuk membuktikan. 

Jika yang terpilih berduet dengan bintang tamu adalah penyanyi andal, dia akan dibuatkan album. Tetapi jika buta nada, ia akan mendapatkan uang sebanyak 5.000.000 Won (US$ 5000 = Rp 70.000.000 [kurs US$ 1 = Rp 14.000])

***
Yang menarik di sini adalah para peserta tidak boleh berbicara sepatah kata pun hingga MC mempersilahkan mereka. Pun saat peserta terpilih untuk berduet dengan bintang tamu, mereka tidak boleh mengeluarkan suara hingga gilirannya menyanyikan part lagu.

Kadang untuk mengecoh panelis dan bintang tamu, tim kreatif menambahkan beberapa properti. Seringkali, panelis dan bintang tamu kecele karena hal ini. Hal ini membuat kita mengingat (lagi) pepatah lama: jangan pernah menilai orang dari luarnya doang!

Bagi saya pribadi, acara ini cukup seru. Apalagi konsep yang ditawarkan cukup unik, dimana buta nada dan penyanyi andal berbagi panggung yang sama. Ada banyak cerita yang diungkap, dan di balik itu semua kita disadarkan pada fakta bahwa jalan yang mereka tempuh untuk mencapai impian tersebut tidak mudah.

Yang penasaran, silahkan tonton di Channel M setiap hari Sabtu, pukul 17.00 WIB atau search videonya lewat Youtube. Berikut ini beberapa cuplikan klipnya.




I Can See Your Voice season 1










I Can See Your Voice season 2









Tuli nada, jangan pernah minder ya! :)

Selasa, 15 Desember 2015

QUANTICO: Mencari Musuh dalam Selimut

Poster Serial TV 'Quantico'
Serialnya baru berakhir Senin malam lalu di AXN. Oke, sebenarnya bukan episode terakhir sih, karena belum diungkap juga siapa teroris sebenarnya. Buat yang penasaran silahkan dipantau tanggal 7 Maret 2016 (lama ya?).

***
Ini merupakan salah satu serial yang populer di Amerika. Awalnya saya kira Quantico ada 'maknanya', tapi setelah browsing, ternyata itu adalah nama sebuah tempat di Virgina, Amerika Serikat.

Quantico sendiri bercerita tentang perekrutan calon agen FBI. Mereka ini dilatih di pangkalan Marine Corps yang letaknya di Quantico. Di serial ini penonton diajak melihat pelatihan mereka yang sangat berat. Mereka dituntut untuk selalu berada 'tujuh langkah' dari musuh. Tujuannya jelas, untuk melindungi Amerika Serikat dari musuh bernama teroris.

Serial ini juga menggambarkan multi-etnis yang direkrut untuk menjadi agen terhebat. Ada Alex Parrish (Priyanka Chopra), sang tokoh utama, yang berlatar belakang India; Nimah dan Raina Amin (Yasmine Al Massri), si kembar yang direkrut Miranda Shaw (Aunjanue Ellis)---direktur program pelatihan---yang dilatih untuk 'menyamarkan diri' sebagai seorang bernama Nimah; Simon Asher (Tate Ellington) yang seorang Yahudi dan lama menetap di Gaza; Shelby Wyatt (Johanna Braddy) yang orang tuanya tewas dalam tragedi 9/11 dan ahli menembak; dan masih banyak lagi.

Masing-masing memiliki agenda tersembunyi untuk memilih menjadi agen FBI. Seperti Natalie Vasquez (Anabelle Acosta), yang menjadi agen karena kenangan buruk di masa lalu dan karenanya ia membuat bekas luka palsu di belakang telinganya. Atau Ryan Booth (Jake McLaughlin) yang ternyata seorang agen FBI yang menyamar untuk memata-matai Alex Parrish, tetapi ia justru jatuh cinta padanya.
***
Bagi saya pribadi, serialnya sangat menarik dan layak ditonton. Serial ini seolah menyindir pemerintah untuk mewaspadai 'pegawai' yang mereka rekrut sendiri sebagai agen hebat agar tidak berubah menjadi 'monster' yang menakutkan. Selain itu, digambarkan pula bagaimana pertemanan yang kita jalin di asrama selama tujuh bulan tidak menjadi dasar untuk tidak mencurigai mereka sebagai tersangka teror. Penonton juga diajak untuk mencermati mereka, sebab semua masih terlihat 'abu-abu'. Masing-masing agen punya sisi tersembunyi yang belum banyak ditemukan oleh yang berwenang.

Dipilihnya Priyanka Chopra sebagai tokoh utama juga menarik, karena sang creator seolah ingin mengatakan bahwa terkadang kaum minoritas sering dituduh melakukan teror hanya berdasar 'bukti di lapangan'. 'Konflik' antara Yahudi-Muslim juga digambarkan melalui tokoh Nimah bersaudara dan Simon. As you knowYasmine ini berdarah Palestina (ayah) dan Mesir (ibu). Selain itu, disinggung pula soal 'agama tertentu' yang memilih melakukan teror sebagai alasan untuk 'memperjuangkan' sesuatu yang mereka yakini kebenarannya.

Sayang, alur cerita yang maju-mundur membuat penonton akan bingung. Jadi saya sarankan agar teman-teman menonton dari awal hingga akhir agar mengerti keseluruhan cerita.

Harapan saya, ke depan Indonesia juga akan membuat film atau drama sejenis. Terus terang, saya sebenarnya sudah bosan dengan cerita agen dari luar negeri. Oke, mungkin sifatnya memang rahasia. Tapi setidaknya bisa memberi kita sedikit gambaran soal aktivitas mereka. Atau jangan-jangan karena sistem keamanan kita yang masih rawan disusupi sehingga kurang pede untuk membuat film atau drama seperti ini?



BPN121615-09.04AM

Jumat, 11 Desember 2015

님아, 그 강을 건너지 마오 (My Love, Don't Cross That River): Cinta yang Sederhana

Bagaimana perasaanmu saat bertemu dan menikah dengan pujaan hati? Terlebih setelah mengorbankan segalanya agar kamu dan pasangan bisa melanjutkan ke tahap yang lebih serius. Bahagia, lega, haru, semuanya pasti campur-aduk.

Menikah berarti menyatukan segalanya. Keluarga, ego, kehidupan, keuangan, dan jiwa. Kelihatannya sederhana, tetapi jika tidak dianggap serius akan menimbulkan konflik. Korbannya akan banyak, tetapi yang lebih dulu merasakan dampak adalah anak-anak dan lingkungan terdekat.

Lalu, bagaimana mewujudkan rumah tangga yang bahagia hingga akhir hayat?

***
Awalnya saya pikir ini film drama khas Korea yang menya-menye. Tetapi setelah sang sutradara, Mo-young Jin, dipilih sebagai tamu kehormatan di Academy Awards, barulah saya ngeh. Rasa penasaran membuat saya akhirnya memutuskan menonton film ini.

Yang menarik adalah film ini merupakan dokumenter yang menggambarkan kehidupan sepasang suami-istri yang memasuki usia senja. Melihat adegan awalnya, kita pasti akan tersenyum. Mereka berdua sudah sepuh tetapi masih 'bertingkah' layaknya 'pasangan muda'. Bercanda, tertawa, menghibur diri masing-masing, saling menggoda; semuanya digambarkan dengan utuh.

Film mencapai klimaks saat sang suami kondisi fisiknya semakin menurun setahun terakhir. Saat anjing kesayangannya mati, sang istri mendadak 'tersadar' waktunya bersama suami tak akan lama lagi. Keinginannya hanya satu: ia ingin pergi bersama suami tercinta sambil menggenggam tangannya yang keriput. Bisakah keinginannya tercapai?

***
Mo-young Jin, sutradara film
Proses syutingnya dilakukan selama 15 bulan di daerah Hoengseoung, Propinsi Gangwon, Korea Selatan. Total biaya produksinya sekitar US$ 110.000 dan mencatat box office dengan nilai US$ 34.3 juta.

Untuk jalan cerita sendiri, saya akui membuat kita terhanyut dan pasti memimpikan hal yang sama. Jangan lupa menyiapkan saputangan, karena di akhir-akhir adegan air mata kita dijamin akan menganak sungai. Lebih keren lagi jika ada bahu yang ditempati bersandar, sayangnya nggak berlaku bagi jomblo. Mungkin bisa aja pake bahu orang lain. :D

Sayangnya, menurut saya banyak adegan yang dipotong. Mungkin agar penonton tidak bosan dan durasinya tidak terlalu lama. Kurangnya foto yang ditampilkan saat mereka muda dan memiliki keluarga besar membuat kita harus menonton seluruhnya agar mengetahui siapa saja bagian dari keluarga Jo.

Menonton dokumenter ini membuat kita lupa akan plot cerita drama Korea umumnya: cinta-cintaan yang berlebihan, konflik yang tak pernah habis dan selalu berkaitan, dan ending yang begitu-begitu saja. Ini adalah realita bagaimana selama 75 tahun (mereka menikah tahun 1938) mereka saling mengisi dan berusaha mempertahankan cinta mereka.

Cocok untuk mereka yang akan, sedang, dan telah menikah.

Trailernya bisa dilihat berikut ini. Subtitle-nya bisa di-download di sini.


RONALDO: Melihat Sisi Lain Kehidupan Sang Megabintang

Poster film Ronaldo
"Di sepakbola aku tak memiliki banyak teman. Orang-orang yang benar-benar kupercaya tak banyak: kakakku, Ricky, Luis... Hampir seluruh waktu kuhabiskan sendirian. Aku senang melakukannya sendiri. Tidur kapan pun aku mau, pergi berenang kapan pun aku mau. Aku sudah seperti ini sejak awal bermain bola..."

"Aku adalah orang yang tertutup. Aku tahu apa yang terbaik bagiku, dan yang terbaik adalah aku pulang, mengasingkan diri dengan dunia luar; media, televisi, sepakbola; karena aku tahu keesokan harinya aku akan kembali lagi ke dunia. Aku lebih suka diam. Aku tak suka merasa ditekan setelah latihan, setelah pertandingan... Aku ingin memasuki duniaku; berada di rumah, bersama orang-orang yang kusukai, bersama anakku dan menenangkan diriku..."
***
Di masa-masa kuliah dulu, teman-teman seangkatan hampir seluruhnya cowok. Mau tak mau, obrolan sehari-hari pasti nggak jauh-jauh dari persoalan cowok-cowok pada umumnya: cewek, rokok, game, *****, dan bola.

Ada dua orang teman yang (masing-masing) penggemar Real Madrid dan Barcelona (baca: icon dari masing-masing tim). Mereka berdua sering sibuk berdiskusi, apalagi saat bigmatch keduanya disiarkan semalam. Esok harinya di saat jam kuliah kosong, mereka pasti sibuk membahas pertandingan semalam. Ujung-ujungnya, persoalannya akan menyerempet ke yang memiliki banyak pemasukan, yang punya banyak sponsor mulai kepala sampai kaki, yang punya jiwa sosial tinggi, dan segala hal lain yang sering bikin saya senyam-senyum---karena masing-masing merasa bahwa tim jagoan (a.k.a pemain favorit mereka masing-masing, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi). Diskusi biasanya berakhir deangan persoalan peraih Ballon d'Or terbanyak.

Mau nggak mau, saya jadi tahu banyak soal kedua tim. Kadang saya iseng memantau lewat media sosial (karena saya nggak kuat begadang) soal pertandingan keduanya; baik saat menjamu tim lain atau keduanya berhadapan langsung. Nggak enak rasanya mereka ngobrol sementara saya hanya jadi kambing congek. Paling nggak bisa mengikuti obrolan mereka, biar kesannya nggak bego-bego amat soal bola.
***
Terus terang, awalnya saya nggak begitu simpatik dengan Ronaldo. Sepele sih alasannya, karena sifatnya yang jerk itu. Meski teman saya (yang fans beratnya itu) sering bilang bahwa yang namanya urusan pribadi nggak perlu dibawa-bawa ke skill, tapi rasanya sulit diterima. Terlebih waktu ada kabar jika ia kini memiliki anak yang ibunya tak jelas. Ugh, rasanya kalo ketemu pengen cakar mukanya yang songong itu.

Pelan-pelan, saya kemudian menyadari bahwa dia juga manusia biasa. Persoalan pribadi sifatnya privasi. Jangan sampai persoalan itu membuat kita buta akan penampilan briliannya di lapangan hijau. Toh, tak ada orang yang tak ingin bertemu dengannya.
***
Ronaldo adalah pekerja keras. Di setiap pertandingan ia selalu berusaha agar timnya memetik kemenangan dan menampilkan performa terbaik. Tetapi di rumah, ia seorang yang penuh kasih sayang pada anak semata wayangnya.

Setidaknya itulah yang ingin digambarkan dalam film semi-dokumenter ini. Film ini sangat saya rekomendasikan bagi mereka yang hanya melihat 'sisi luar' sang megabintang. Mereka tak pernah tahu, di balik kehidupan mewah yang diraih ada pengorbanan besar yang ditempuh.

Jangan harap di film ini akan disuguhi soal gosip-gosip yang selama ini menerpanya. Film ini 'hanya' menyinggung perjalanan karir dan orang-orang yang mengantarkannya hingga mencapai puncak ketenaran. Bagaimana rivalitasnya dengan megabintang Barcelona, Lionel Messi? Benarkah mereka juga 'musuh bebuyutan' di luar lapangan? Apa arti Ballon d'Or baginya? Mampukah dia menjadi orang tua tunggal yang baik? Semuanya akan dijawab dalam film ini.

Sayangnya, di film ini tidak menyinggung soal anak angkatnya di Aceh dan bantuannya untuk Palestina yang sempat jadi perbincangan hangat. Mungkin sang sutradara tak ingin memasukkan 'unsur tertentu' yang membuat pro kontra. Tetapi bagi saya justru akan menambah daya tarik. Sebab ada beberapa yang menganggap hal tersebut dilakukan untuk mencari popularitas---utamanya soal bantuan tersebut.

Oya, di film ini lagu Rihanna muncul sebagai 'selingan'. Kayaknya ini salah satu lagu favoritnya sih. Penasaran? Ini dia.





Trailernya bisa dilihat di bawah ini.


Rabu, 02 Desember 2015

2015 Mnet Asian Music Awards in Hong Kong: Music, Movie, and Food Makes One!

Pagelaran musik terbesar Korea, Mnet Asian Music Awards atau yang biasa disingkat MAMA tahun 2015, baru saja usai. Dan untuk keempat kalinya acara ini diselenggarakan di Hong Kong (tahun 2012 diadakan di Hong Kong Convention and Exhibition Centre, dan tahun 2013-2015 diadakan di AsiaWorld-Expo). Harus gue akui, tata panggung dan lightingnya sekelas acara penghargaan MTV. Seandainya Indonesia punya gedung pertunjukan yang memadai juga ya, gaes...

Masih dengan tema yang sama, acara ini mengajak seluruh penonton di dunia untuk menikmati musik Korea (khususnya) dan Asia (umumnya) tanpa memandang negara. Tidak hanya musik, tetapi makanan dan film merupakan 'bahasa persatuan' bagi penonton di seluruh dunia. Selain hal tersebut, penonton juga diajak untuk mengingat dan peduli terhadap anak-anak dan wanita di seluruh dunia yang tidak bisa bersekolah karena kekurangan biaya.

Red Carpet
Shin A-young, Moon Hee Jun, dan Z.HERA didapuk sebagai pembawa acara untuk sesi ini. Beberapa artis yang gue sempat liat (di tivi) di red carpet adalah Lee Kwang-soo, Park Shin-hye, Song Ho-jun, EXO, Taeyeon SNSD, MONSTA X, U-IE, f(x), HyunA, dan masih banyak lagi (klik di sini).

Untuk special stage kali ini dibuka dengan penampilan dari SEVENTEEN - Adore U. Selanjutnya oleh MONSTA X yang membawakan lagu 'Trespass + Hero', disusul dengan Vivian Koo 'Listen to the Sea' dan terakhir adalah GOT7 'Girls Girls Girls'.






Satu hal yang gue kritik dari acara red carpet ini adalah penampilan MONSTA X, SEVENTEEN, dan GOT7 yang dobel: nyanyi di sesi ini dan dapat jatah di panggung utama. Kalo menurut gue pribadi, bagusnya red carpet diisi dengan artis-artis yang memang bukan pengisi acara utama. Special stage adalah ajang warm up sebelum penonton memasuki hiburan utama. Menampilkan artis utama di red carpet show akan membuat penonton tidak terkejut di stage selanjutnya, lebih-lebih jika penontonnya adalah newbie seperti saya (FYI, gue baru mendengarkan musik-musik K-pop sejak setahun belakangan. Sebelumnya gue buta soal K-pop, karena menurut gue nggak ada gunanya denger lagu yang menurut gue bahasanya lebih ribet untuk diucapkan). Nop.K, VIXX LR, INFINITE, 2PM, adalah beberapa artis yang menurut gue cocok untuk tampil di sesi ini (kalo ada yang mau nambahin silahkan isi di kolom komentar :))

Selasa, 01 Desember 2015

Ayah

Apa yang ada di pikiranmu saat empat huruf itu disebutkan?

Sosok bertanggung jawab, bersedia berkorban untuk keluarga, menyayangi anaknya, perhatian, dan segala hal yang baik melekat pada dirinya. Memang tidak selamanya, tetapi setidaknya itulah gambaran umum yang kita temui dalam cerita dan kehidupan nyata.

Sering kita dengar bukan, kisah heroik tentang ayah? Yang rela menjual ginjal demi membiayai kuliah anaknya, yang mengorbankan nyawa agar anaknya bisa melanjutkan hidup...
Bagaimana dengan ayahmu?

Aku tersenyum getir. Perih rasanya jika harus mengeja kalimat itu. Terlebih, aku menyadari saat umurku menginjak 20-an awal...

***
Masa kecilku bisa dikatakan kurang bahagia. Ibu sering mengasariku secara fisik dan mental, sehingga aku tumbuh menjadi gadis yang pemarah dan kurang percaya diri. Satu-satunya pelarian yang paling membahagiakan bagiku adalah saat berada dalam pelukan ayah atau membaca sebuah cerita dari buku bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka untuk kelas III SD---kepunyaan kakak.

Karena pekerjaan ayah yang sering ke daerah-daerah terpencil, beliau sering meninggalkan kami beberapa minggu. Aku sering merengek untuk ikut, karena aku begitu takut tinggal bersama ibu. Tentu saja hal ini mustahil, sehingga seringkali aku tidak mau menemui ayah saat beliau pamit untuk berangkat.

Ayah bukannya tidak tahu kelakuan ibu. Seringkali beliau menegur, tetapi ibu berdalih bahwa apa yang dilakukan merupakan bagian dari pendidikan. Adu mulut pun tidak dapat dihindarkan. Karenanya, beliau memilih menghindari pertengkaran dengan tetap mengawasi kami---terutama aku.

***
Segalanya terlihat baik-baik saja, hingga suatu hari...

Aku telah menyelesaikan kuliah dengan hasil yang memuaskan. Ayah begitu bangga---sampai saat namaku diumumkan untuk menerima penghargaan sebagai wisudawan terbaik, aku melirik ayah yang duduk di kursi khusus orang tua wisudawan---sampai beliau meneteskan air mata haru.

Segala rencana telah kususun dengan matang. Saat kuutarakan niat untuk melanjutkan kuliah magister pada ayah, beliau menjawab ketus,"Mau ambil uang dari mana?!"

Hatiku rasanya sakit sekali. Aku tahu ayah memiliki uang. Beliau memiliki beberapa sawah di kampung, yang jika dijual hasilnya cukup untuk membiayai kuliahku. Lagipula aku yakin bisa memperoleh beasiswa magister, andai ayah mau berkorban sedikiiiiiiittt saja.

Dalam kekecewaan itu, aku memutuskan untuk pergi merantau. Di kota yang jaraknya 612,5 km dari kampung halamanku, aku tinggal dengan bibiku (kakak dari ibu). Dari beliau-lah aku tahu bahwa keluarga besar dari ayahku memang memiliki sifat yang seperti itu. Mereka hanya membanggakan harta mereka yang melimpah (dulunya mereka memang terkenal kaya-raya), tetapi hanya beberapa dari mereka (om, kakek, nenekku---anak dan saudara ayahku) yang berhasil menyelesaikan sekolah hingga tingkat sarjana. Nenek buyutku sangat pelit untuk mengeluarkan uang demi menyelesaikan sekolah. Mereka yang berhasil menyelesaikan sekolah murni karena usaha dan pengorbanan mereka sendiri---tanpa dibantu keluarga.

Lututku lemas. Seketika sekelilingku berubah warna menjadi monokrom, hitam-putih. Gambaran dan kenangan ayah semasa kecil seketika hilang, berganti dengan amarah dan kebencian. Mirisnya, kebenaran ini baru kuketahui saat aku dewasa.

Padahal ayah sedikit-banyak mengerti soal agama. Bukankah dalam kitab suci dikatakan orang-orang berilmu akan ditinggikan derajatnya? Bukan orang yang memiliki harta berlimpah? Apakah ayah melewatkan firman ini? Dan bagaimana mungkin ayah abai akan tanggung jawab? Bukankah beliau menikahi ibu karena ia ingin bertanggung jawab untuk memenuhi nafkah?

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menjaga jarak. Beliau hingga saat ini terus menghubungiku, tapi aku tak ingin menyapa. Aku terlanjur terluka, dan entah sampai kapan aku bisa menerima beliau kembali...


*)seperti dituturkan Ms. X di kota X via email