Happy Cat Kaoani

Selasa, 09 Agustus 2016

Kisah Si Pohon Hannoki (Bagian Pertama) oleh Sukeyuki Imanishi

Awan putih berarak di atasku. Angin ini…pasti di akhir musim gugur. Aku paling suka ketika musim panas akan berakhir. Inilah musim ketika daun-daunku paling nampak berkilap---saat ini jadi nampak sangat tinggi  dan terbentang luas. Bumi di bawah nampak kecil dan indah seolah-olah dilihat dari ujung teropong yang salah. Hari ini anak-anak itu kembali bermain di sini. Mereka menangkap kamikirimushi (kumbang tanduk panjang) yang mereka temukan di batang pohonku. Kumbang ini punya gigi yang kuat.

“Satu saja! Boleh ya aku potong satu saja?” pinta si anak laki-laki seperti biasa.

“Cuma satu ya, tidak boleh lebih.”

Gadis kecil itu perlahan-lahan meraih sehelai rambutnya lalu direntangkan, sambil menatap si anak laki-laki. Anak itu lalu mengeluarkan kumbang kamikiri yang ditangkapnya tadi, dan membiarkannya menggigit sehelai rambut gadis itu. Sang kumbang mengeluarkan suara yang lirih (tidak dengan wujudnya) dan menggigit sehelai rambut gadis itu hingga menjadi potongan-potongan kecil.

“Satu lagi, ya! Boleh, ya?” si anak laki-laki kembali memohon.

“Jangan sampai dia memotong banyak-banyak,” kata gadis kecil itu sambil kembali mengulurkan rambutnya.

Entah kapan mereka pertama kali datang ke sini. Rasa-rasanya gadis kecil itu sudah pernah aku kenal dulu.

***
Dahulu kala, dulu sekali…

Waktu itu tempat ini masih padang rumput luas dan jadi tempat latihan para tentara. Tidak ada rumah, tidak ada jalanan, tidak ada kabel-kabel listrik. Di padang itulah aku berdiri sendiri. Sejak kapan ya? Bahkan aku sendiri tidak ingat. Waktu itu batang pohonku mungkin belum sebesar sekarang. Mungkin juga waktu itu aku belum setinggi sekarang. Di ujung sebelah selatan padang rumput tempat latihan itu ada stasiun Hiroshima, dan aku nyaris bisa melihat asap yang keluar saat kereta itu membunyikan peluitnya. Tampak kepulan asap putih, setelah itu terdengar bunyi mesin.

Saat itu gunung Fujiyama pastinya masih nampak dari stasiun. Gunung Futagayama juga pasti nampak di sisi yang lain, tapi aku tidak pernah ingat melihatnya. Aku masih ingat suara peluit uap di kejauhan. Jauh di ujung padang rumput yang luas itu…

Setiap hari, dari pagi sampai sore, tentara-tentara itu akan datang dan berlatih. Mereka datang berlarian ke arahku dari jarak yang sangat jauh---saking jauhnya sampai-sampai mereka kelihatan seperti biji-biji wijen. Mereka akan menyebar ke samping, berlari ke depan, lalu tiarap di atas tanah, kembali berlari, merunduk, dan bergerak menyerang ke depan. Sesekali akan terdengar suara seseorang, dan akan nampak pedang yang berkilat ditimpa cahaya matahari. Tidak lama kemudian mereka perlahan-lahan mulai mendekat dan akhirnya sambil mengeluarkan teriakan perang, mereka akan berlarian sambil saling menyerang di bawah batang pohonku.

Terdengar suara terompet dan latihan pun selesai. Para tentara itu berbaris lalu menumpuk senjata-senjata mereka seperti batang-batang korek api saja. Waktunya mereka istirahat. Tentara-tentara itu akan datang dan beristirahat di bawah bayang-bayangku yang rindang. Seragam-seragam warna khaki mereka nampak menebarkan keringat. Bau keringat dan kulit akan tercium dari bawah. Bahkan saat ini, di musim panas yang tenang---saking tenangnya sampai bisa terdengar suara dering yang tajam di telinga---terkadang aku masih bisa mengingat bau itu. Seperti kilasan balik atau mimpi. Bahkan ketika itu pun kumbang-kumbang kamikiri sudah sering bermain di batang pohonku. Mereka akan menangkapi kumbang-kumbang itu dan mengadunya. Para tentara di masa itu kepalanya botak, jadi rambut mereka terlalu pendek untuk bisa dipotong oleh kumbang itu. Tapi suatu hari, seorang tentara yang usil menarik kepala temannya, dan mencoba membuat kumbang itu memotong rambutnya. Yang ada kumbang itu malah sedikit demi sedikit menggigit kulit kepala tentara itu saat berusaha menggigiti rambutnya.

"Aduh, apa yang kau lakukan?"

Para tentara itu akan bergelut sambil bermain-main.

***
Serdadu-serdadu itu selalu pulang ke baraknya sambil menyanyikan sebuah lagu militer.

Di sini, di Manchuria, ratusan kilometer dari kampung halaman, disinari mentari merah yang tengah terbenam, temanku berbaring di bawah batu, nun jauh di ujung sebuah padang.

Aku suka sekali dengan nada di bagian lirik; temanku berbaring di bawah batu, nun jauh di ujung sebuah padang. Walaupun aku tidak tahu apa artinya, aku menyaksikan para serdadu itu kembali ke barak, menyanyikan setiap baris lagu tadi dua kali, dan kupikir lagu itu indah.

Aku membayangkan seperti apa suasana perang. Perang diterangi mentari merah yang sedang terbenam, kedengarannya indah. Tapi, itu dulu sekali. Aku tahu para serdadu itu, tapi aku tidak tahu apa itu perang. Beberapa tahun pun berlalu, entah berapa lama…

Mundurlah sedikit dan perhatikan batang pohonku. Akan kelihatan ia miring ke satu sisi dekat bagian akar. Ada yang bilang aku ini pohon buruk yang cacat, tapi tidak banyak orang yang tahu penyebabnya. Tidak ada lagi yang ingat. Di hari yang nahas itulah batang pohonku mulai miring.

***
Pagi itu senyap, embun bermunculan dan tidak ada angin. Sesaat setelah fajar menyingsing, terdengar satu kali raungan sirine. Sirine serangan udara yang memperingatkan adanya pesawat musuh yang mendekat. Tapi tidak ada yang berbeda di kota itu, juga di tempat-tempat lain. Ada satu orang yang berlari dari arah stasiun melintasi lapangan rumput tempat latihan. Ada juga yang sedang menyapu di undak-undakan batu di kuil yang terletak di kaki gunung Futagayama seperti biasa. Mungkin sudah sekitar dua jam berlalu tanpa terjadi apapun. Bahkan tak ada satu kereta pun yang lewat. Lalu sirine itu kembali meraung, mengabarkan kalau peringatan serangan udara sudah dicabut.

Lima atau enam serdadu berbaris cepat di barak yang kelihatan seperti gudang di ujung lapangan tempat pelatihan. Mereka mau pergi sarapan seperti biasa, meskipun sedikit terlambat gara-gara sirine serangan udara tadi. Hari itu pemandangannya biasa, tidak ada yang aneh. Tapi entah kenapa aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Di langit seharusnya sudah tidak ada lagi pesawat musuh, tapi ada pesawat kecil yang terbang ke arah kami, nampak bersinar seperti kertas kaca. Pesawat Jepang-kah? Pesawat itu terbang cukup tinggi. Saat melintas persis di atas Hiroshima, pesawat itu mengeluarkan kilauan sejenak, lalu mengubah arah. Tidak lama kemudian, cahaya memenuhi langit. warnanya merah muda pucat atau ungu, seolah-olah ada magnesium yang disulut persis di depan mata.

Aku tidak ingat apa-apa lagi. Semburan angin yang sangat kuat melewatiku dalam sekejap seolah mendorongku. Ah, aku jatuh! Itulah yang ada di pikiranku waktu itu.

Waktu aku tersadar, hari sudah siang. Badanku miring sampai ke akar. Semua daun-daunku menghadap ke selatan, warnanya jadi cokelat muda dan sakit. Langit pagi biasanya cerah sekali, tapi pagi ini semua berawan. Asap membumbung di seluruh penjuru kota. Sesaat aku sempat tidak menyadari apa yang ada di sekelilingku. Aku sedang berdiri di tengah neraka.

Lapangan tempat latihan penuh manusia. Nyaris tidak ada tempat berdiri. Mereka semua seperti monster; tanpa wajah, mata, mulut, atau telinga. Serdadu-serdadu itu bergeletakan tak bernyawa. Kaki-kaki telanjang mereka menyembul dari seragam yang compang-camping. Kuda-kuda berjalan terhuyung, dan jatuh. Bulu-bulu mereka terkelupas, yang nampak kulitnya saja. Tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya rintihan dan erangan. Dari arah kota makin banyak orang berdatangan ke arah lapangan tempat latihan itu.

Di tengah-tengah lapangan itu, ada parit yang memanjang yang sengaja digali untuk latihan para serdadu. Parit itu kini penuh air berwarna merah keruh. Orang-orang yang tubuhnya terbakar dan kesakitan, merangkak ke arah parit mencari air, mencelupkan kepala di genangan air yang dangkal, lalu berhenti bergerak seolah mereka habis menelan racun yang keras sekali.

Matahari sudah terbenam, tapi langit masih merah dari api yang terus membakar kota itu. Warna merah di langit terpantul di permukaan air dalam parit sehingga kelihatan seperti sungai darah. Nanah yang mengalir dan nyaris menyembul dari kulit-kulit yang luka dan terbakar itu nampak mengerikan. Aku merasa lemah dan terus berpikir akan tumbang. Akarku yang paling tebal mungkin luka, karena rasa sakit ini terasa sampai ke ujung rantingku yang paling tinggi. Sesekali ada yang jatuh dari dahan-dahanku dengan bunyi gemerisik. Aku sempat bertanya-tanya apa itu. Ternyata burung pipit dan walet yang sayapnya terbakar, sampai-sampai mereka tidak bisa terbang. Tidak ada lagi sisa kekuatan mereka untuk terus bertengger di dahanku, dan akhirnya jatuh ke tanah.


Bersambung....